Hartono
Borneo Tribune, Sekadau
Dusun Tapang Jaya atau yang lebih dikenal dengan Entobas, masuk wilayah Kecamatan Sekadau Hilir. Dusun ini merupakan satu dari beberapa dusun di Kabupaten Sekadau yang hingga saat ini masih terisolasi. Padahal bila dibandingkan dengan daerah lain, letaknya tidak jauh dari ibukota dua kabupaten, yakni terletak di titik perbatasan Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sanggau.
Salah seorang warga Entobas, Matius Nion, kepada saya yang menyambanginya beberapa waktu lalu menuturkan, sejak dirinya masih kecil atau masih bergabung dengan Kabupaten Sanggau, dusun Entobas, sama sekali tidak pernah dijamah oleh pemerintah. Baik pembangunan fisik maupun non fisik. Tragisnya lagi setelah pemekaran pun kampung itu tak kunjung di kunjungi oleh pejabat pemerintah.
Walau demikian, warga Entobas tetap tabah dan hidup bersahaja di tengah keterasingan, yang justru bebada di bibir kota.
Bukan alasan baru, jarak tempuh dan percepat pelayanan selalu menjadi kambing hitam tujuan dari pemekaran. Namun Yang terjadi tidak demikian. Sabtu (13/9) lalu saya diajak oleh pimpinan Radio Dermaga Sekadau, Nicodemus Bohot, pergi mengunjungi kampung itu dalam rangka Turnei (Merasul) untuk menyampaikan kegiatan bulan kitab suci nasional atau BKS yang akan diselenggarakan oleh Paroki Sekadau.
Sebagai orang baru saya tentu merasa senang bisa pergi ke kampung yang belum saya kenal seperti Entobas. Kurang lebih 13 jam saya bersama pak Nico membaur bersama masyarakat di kampung tersebut.
Minggu pagi (14/9) sekitar pukul 08.00 WIB, satu persatu, mulai dari orang tua, dewasa hingga anak kecil ikut dalam pertemuan ibadat sabda, yang dilaksanakan di kapel Entobas. Pak Nico langsung memimpin ibadat hari Minggu tersebut.
Setelah ibadat usai kami berkumpul kembali di rumah pemimpin umat, untuk sarapan pagi. Kesempatan baik itu tak mau saya sia-siakan, pelan namun pasti saya pun mulai membuka pembicaraan dan seyogyanya wartawan, langsung tanya itu ini. Dari perbincangan yang cukup akrab itu, tanpa ragu, Nion membeberkan persoalan yang selama ini mereka hadapi.
Nion mengaku, masalah uatama yang sangat kontras mereka hadapi adalah pendidikan. Bahkan hingga saat ini kampung tersebut belum memiliki sebuah bangunan sekolah. Padahal bagi mereka meskipun berada di daerah yang terisolir, namun keberadaan gedung sekolah tetap mereka anggap penting. Akibat tidak adanya sebuah gedung sekolah, tak heran pendidikan tertinggi yang harus mereka miliki hanya sebatas tamat SMP, dan itu pun sangat sulit. Hanya ada satu dua saja yang bisa meneruskan SMP ke Kota Sekadau.
Dari segi administratif, kampung Entobas berada di wilayah Kabupaten Sekadau. Karena tidak tersedianya jalan penghubung untuk menuju ke Sekadau yang bisa menggunakan kendaraan bermotor, tidak heran mereka memilih menyekolahkan putra-putrinya ke Kecamatan Mukok Kabupaten Sanggau.
Mengapa mereka memilih sekolah di Mokok, padahal itu sudah lain kabupaten?
Rita, salah seorang dari orang tua siswa mengatakan, Mukok menjadi satu-satunya alternatif yang harus mereka pilih. "Apa boleh buat tak ada rotan akar pun jadi, ke Mukok lebih dekat pak," ujar Rita.
Dari Entobas menuju ke Mukok lanjut Rita, kalau menggunakan jalan kaki sedikitnya menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam.
Tak pelak lagi, kondisi tersebut mau tidak mau harus memaksa putra-putrinya yang masih SD harus berjalan kaki dengan jarak yang harus ditempuh sekitar 1 jam. Hal ini mereka lakukan demi sebuah harapan cita-cita yang cerah bagi putra-purtrinya ke depan. Belum lagi kalau musim hujan tiba. Mereka memilih tidak pergi ke sekolah, selain takut seragam dan bukunya basah mereka juga takut banjir.
Nion menambahkan, secara umum masyarakat Entobas yang terdiri dari 44 Kepala Keluarga (KK) mata pencarian utamanya adalah penyadap karet. Ada juga yang bersawah tetpi sedikit. "Semua hasil pertanian yang kami peroleh seperti karet, kulat dan lain sebagainya, semua kami bawa dan jual ke Mukok, seperti inilah hidup kita sebagai masyarakat kecil," kata Nion.
Jalan menuju Mukok yang saat ini boleh dinikmati masyarakat Entobas sambung Nion, merupakan hasil swadaya dari masyarakat setempat. "Jalan ini kami bangun secara gotong-royong dengan menggunakan cangkul," ulas Nion. Dalam kesempatan itu, Nion berharap agar pemerintah setempat khususnya Pemkab Sekadau bisa memberikan perhatikan kepada mereka yang justru terisolir, padahal letaknya dari kota tidak begitu jauh. "Kita ini sudah 63 tahun merdeka, tapi kami di kampung seperti ini belum merasakan kenikmatannya,” ujarnya.□
Rabu, 21 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar