Hermanus Hartono
Borneo Tribune, Sekadau
Baru-baru ini Nanga Pinoh dihebohkan dengan banjir bandang, yang sumbernya datang dari arus sungai. Berbeda dengan Kota Sekadau, mereka bukan kena banjir air, tetapi banjir debu. Debu tersebut disebabkan beberapa ruas jalan di kota Sekadau yang kondisinya rusak parah yang ditimbun dengan tanah, mengeluarkan debu saat kemarau seperti sekarang ini.
Lihat saja, ketika mobil melintas, badai debu mengepul bagaikan kabut asap di musim kemaru atau bagaikan embun di waktu pagi hari. Dapat dibayangkan, betapa sulit bagi mereka yang menggunakan kendaraan bermotor. Selain harus menutup hidung, mereka juga harus memegang kendali sepeda motornya, belum lagi saat membawa anak kecil.
Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga berdampak pada keselamatan di jalan raya. Seperti yang saya amati, akibat debu itu, ternyata tidak hanya pengguna jalan yang merasa resah, tetapi mereka yang berjualan juga turut merasakan hal yang sama.
Terutama bagi mereka yang buka usaha warung nasi maupun kantin, di balik itu tidak hanya warung nasi ataupun kantin yang merasa terganggau tetapi juga toko pakaian, penjual topi, tas dan lain sebagainya merasakan hal yang sama.
Pernah, saya datangi toko penjual tas di pasar Sekadau, sambil iseng saya pun mengambil tas yang saya anggap bagus itu. Aduh saat saya pegang bukan main terkejut tas berwarna hitam itu, hampir tak memiliki warna lagi akibat debu. Kasat mata tas itu sepertinya sudah 4 tahun tergantung. Tak puas saya pun bertanya, ”tas ini sudah berapa lama pak, kok warnaya kusam sekali?” ”Jawabnya santai, biasa dek, itu karena debu, tapi tasnya baru kok”.
Memang bahaya debu tidak spontan seperti air. Wajar saja jika masalah itu dianggap masa bodoh. Tak heran penanganannya juga hampir tidak ada.
Jati, salah seorang warga Sekadau mengatakan bukan tidak mungkin lambat laun jika kondisi ini terus berlanjut masyarakat akan terserang penyakit, belum lagi terhadap bahaya kecelakaan lalu lintas.
Pemerintah sebagai perpanjangan tangan yang diberi kepercayaan oleh masyarakat, menurut Jati mesti tanggap terhadap persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Dari itu, Jati berharap agar persoalan ini tidak berlarut-larut. "Terasa enak dan nyaman, jika banjir debu tidak ada lagi, ini semua demi kepentingan kita bersama," ucap Jati.□
Rabu, 21 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar